Negeri yang Sibuk Tersinggung: Apa Kabar Akal Sehat?
![]() |
Ilustrasi gambar: marah dan bertengkar |
Sebagai negara dengan budaya dan budi pekerti yang luhur, mengapa hati masyarakatnya sangat rapu dan mudah tersinggung? Bukankah kita negara yang beragama? Akhir-akhir ini ada fenomena yang tak lazim terjadi dinegara ini. Sifat marah dan egois banyak terjadi dan membabi buta.
Entah mengapa tersinggung dan kebencian dapat tumbuh dengan subur di negara ini, dan akal sehat perlahan menjadi mati. Ruang berpikir semakin menciut dan digantikan oleh kegaduhan dan rasa tersinggung yang dibesar-besarkan.
Pada zaman dulu, kita mengenang masa ketika kritik adalah vitamin demokrasi. Ia menyuburkan diskusi, menantang kekuasaan untuk tetap waras.
Tapi hari ini, kritik dijadikan musuh. Yang tak sejalan dituduh menghina, dianggap memecah belah, bahkan dikriminalisasi. Akibatnya, rakyat makin takut bersuara. Opini dikebiri oleh rasa takut dan salah ucap.
Sensitivitas Tinggi, Nalar Mati?
Fenomena ini tak hanya terjadi di ruang politik. Di media sosial, percakapan publik berubah jadi ladang ranjau. Kata-kata sederhana bisa disulap menjadi pelanggaran moral atau serangan personal.
Publik seolah kehilangan daya tahan terhadap perbedaan pendapat. Semua ingin dimengerti, tapi enggan mendengar. Semua ingin dianggap benar, tapi tak mau berpikir panjang.
Akal sehat tak punya tempat dalam keributan yang bising ini. Sikap mudah tersinggung ini ibarat racun halus bagi demokrasi. Ia membuat masyarakat lemah secara intelektual.
Ketika kritik tak boleh hadir, maka yang tumbuh adalah pembenaran massal, bukan kesadaran. Ketika pertanyaan dianggap ancaman, maka yang berkuasa akan terus nyaman dalam kedunguan kolektif. Bangsa yang tidak tahan dikritik, pada dasarnya tidak siap maju.
Di mana Peran Akal Sehat?
Jika nalar sudah mati, lalu di mana peran akal sehat? Akal sehat mestinya menjadi jangkar moral publik. Ia mengajak kita berpikir jernih, membedakan antara kritik dan kebencian, antara sindiran dan fitnah.
Namun ketika ego lebih dominan dari logika, akal sehat tenggelam dalam gelombang emosi. Rakyat terbelah bukan karena isu besar, tapi karena miskin cara berdialog.
Solusinya bukan membungkam kritik, tapi mendewasakan cara kita menanggapinya. Kritik bukan musuh. Ia adalah bentuk cinta, kepedulian yang paling tulus.
Negara yang sehat bukan negara yang steril dari kritik, tapi yang mampu menampungnya dengan kepala dingin. Oleh karena itu, sebelum negeri ini benar-benar sakit jiwa karena marah, maka perlu cara untuk mengatasinya.
Mari tanyakan kembali kepada penghuni negara +62 ini. Apa kabar akal sehat? Sudahkah ia kita beri ruang tumbuh di tengah sensitivitas yang kian membabi buta?
Kesimpulan
Fenomena mudah tersinggung yang meluas di masyarakat menunjukkan adanya krisis dalam cara berpikir dan berdialog.
Ketika setiap kritik dianggap serangan, dan perbedaan pandangan dibalas dengan kemarahan, maka akal sehat perlahan tergantikan oleh ego. Demokrasi tanpa ruang untuk berpikir kritis hanya akan melahirkan ketaatan tanpa kesadaran.
Sudah saatnya bangsa ini berhenti mengedepankan perasaan dan mulai menumbuhkan budaya berpikir jernih. Kritik bukanlah musuh, melainkan pengingat agar kita tetap waras dan terbuka terhadap perubahan.
Jika akal sehat terus dikesampingkan, maka yang tersisa hanyalah bangsa yang gaduh, sensitif, dan stagnan.
Mari kita rawat akal sehat ini, supaya kita menjadi waras. Karena hanya dengan itu, negeri ini bisa melangkah maju tanpa tersesat oleh amarah dan kebisingan yang tidak perlu.
Posting Komentar untuk " Negeri yang Sibuk Tersinggung: Apa Kabar Akal Sehat?"
Posting Komentar